Mo’odelo dalam Bayang Kartini: Keteladanan yang Terancam Redup
Oleh: Dr. Fatmah M. Ngabito, S.Ip., M.Si
Rektor Universitas Ichsan Gorontalo Utara
Dalam budaya Gorontalo, ada satu filosofi yang tidak hanya dipelajari, tetapi diwarisi: Mo’odelo menjadi teladan. Ia bukan slogan, tetapi jalan hidup. Ia bukan konsep akademik, tetapi laku keseharian yang melekat pada setiap pemimpin sejati, guru yang tulus, dan warga yang menjunjung nilai luhur. Dan hari ini, di tengah gemerlap peringatan Hari Kartini, kita diingatkan kembali: apakah kita masih hidup dalam semangat Mo’odelo, atau hanya hidup dalam bayangnya?
Kartini adalah bayang terang yang tidak pernah padam. Ia adalah nyala pertama di tengah zaman yang dingin terhadap perempuan. Dalam keberaniannya menulis, ia membentuk jalan bagi perempuan agar tidak hanya dikenal sebagai simbol, tetapi juga sebagai subjek perubahan.
Namun di era ini, seringkali peringatan Hari Kartini terjebak pada kosmetik seremoni busana tradisional dikenakan, panggung disusun, puisi dibacakan—tetapi di balik itu, banyak ruang masih membiarkan ketidakadilan tumbuh pelan-pelan, bahkan dalam sistem pendidikan yang semestinya menjadi pelita kemerdekaan berpikir dan bertindak. Sebagai pemimpin perguruan tinggi, saya menyaksikan betapa perempuan hari ini masih harus memikul beban ganda: dituntut untuk berprestasi, sekaligus tetap tunduk pada ekspektasi sosial yang sering kali bias gender. Mahasiswi kita masih harus menjawab komentar yang meremehkan, dosen perempuan masih harus membuktikan dua kali lipat untuk diakui. Ini bukan lagi sekadar ketimpangan ini adalah pengkhianatan terhadap semangat Kartini dan ruh Mo’odelo.
Jika Mo’odelo berarti memberi teladan, maka pertanyaannya adalah:
Siapa yang hari ini sungguh-sungguh menjadi teladan dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan?
Apakah pemimpin kita, pengambil kebijakan, bahkan institusi pendidikan, sudah menjadi panutan atau justru membiarkan status quo bersembunyi di balik formalitas?
Kartini tidak meminta perayaan. Ia meminta keberlanjutan perjuangan.
Mo’odelo bukan tentang menjadi sempurna. Ia tentang keberanian menyalakan cahaya kecil di tempat yang gelap, tentang memilih jujur saat mudah untuk diam, tentang berdiri untuk yang benar, meski sendiri.
Universitas Ichsan Gorontalo Utara dan seluruh institusi pendidikan harus menjadi tempat di mana nilai-nilai keteladanan itu tumbuh, tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupi. Di mana keadilan bukan hanya teori, tetapi napas kebijakan dan kultur.
Hari Kartini seharusnya tidak menjadi hari nostalgia, tetapi hari pertanyaan: apakah kita masih layak menyebut diri sebagai pewaris perjuangannya?
Atau jangan-jangan, kita sudah terlalu nyaman hidup di bawah bayangnya tanpa pernah benar-benar menyalakan terang baru?
Selamat Hari Kartini.
Semoga nyala Mo’odelo kembali terang, sebelum redup jadi kenangan.