Meningkatkan Penerimaan Negara atau Menekan Daya Beli? Dampak Kenaikan PPN

Gorontalo – Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, sebuah langkah yang diklaim sebagai upaya strategis untuk meningkatkan penerimaan negara. Kebijakan ini mulai berlaku pada awal tahun depan sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah berkeyakinan bahwa kenaikan ini dapat menopang pembiayaan pembangunan nasional, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, keputusan tersebut memunculkan reaksi keras dari berbagai pihak yang khawatir terhadap dampaknya, terutama pada daya beli masyarakat.
Kebijakan ini langsung menimbulkan efek psikologis di tengah masyarakat. Banyak yang merasa bahwa kenaikan PPN akan semakin menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi mereka yang berada di lapisan menengah ke bawah. Harga barang kebutuhan pokok, yang sebelumnya sudah meningkat akibat inflasi, dipastikan akan naik lebih tinggi. Sementara itu, masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kondisi ini dikhawatirkan menurunkan daya beli secara signifikan dan memperburuk kualitas hidup.
Bukan hanya masyarakat, pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) juga bersiap menghadapi tantangan berat. Banyak pelaku usaha mengaku dilema karena harus memilih antara menaikkan harga produk mereka atau mempertahankan harga dengan menanggung beban kenaikan pajak sendiri. Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, situasi ini menambah ketidakpastian bagi sektor UMKM, yang menjadi salah satu penopang terbesar ekonomi nasional. Beberapa pengamat ekonomi menilai bahwa jika tidak diimbangi dengan kebijakan insentif yang memadai, kenaikan PPN ini berpotensi membuat banyak UMKM kehilangan daya saing.
Sementara itu, pemerintah optimistis bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Dalam sebuah konferensi pers, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa kenaikan PPN masih berada dalam batas moderat dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ia menegaskan bahwa tambahan penerimaan dari pajak ini akan digunakan untuk membiayai program-program prioritas yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Namun, penjelasan ini tidak sepenuhnya diterima oleh publik. Banyak pihak yang mempertanyakan transparansi dan efektivitas penggunaan anggaran tambahan tersebut. Publik khawatir dana hasil kenaikan PPN justru tidak dikelola dengan baik dan akhirnya tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Di sisi lain, pengamat ekonomi memperingatkan potensi risiko inflasi akibat kebijakan ini. Mereka menilai bahwa kenaikan tarif PPN dapat memicu lonjakan harga di berbagai sektor, terutama barang-barang konsumsi. Risiko ini semakin besar jika pemerintah tidak mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok. Selain itu, kenaikan ini juga berisiko memperburuk ketimpangan sosial, terutama jika tidak ada kebijakan pendukung yang memadai untuk melindungi kelompok rentan.
Meski mendapat kritik, beberapa pihak menilai kenaikan PPN adalah langkah yang tidak terhindarkan untuk memperbaiki kondisi fiskal negara. Mereka berpendapat bahwa dengan peningkatan penerimaan pajak, pemerintah memiliki peluang lebih besar untuk mengatasi defisit anggaran dan membiayai pembangunan jangka panjang. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola dampaknya secara transparan dan efektif.
Di tengah berbagai reaksi yang muncul, masyarakat kini menunggu langkah konkret pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif kebijakan ini. Stabilitas harga kebutuhan pokok, subsidi untuk kelompok rentan, dan insentif untuk UMKM menjadi beberapa hal yang dinilai penting untuk segera dilakukan. Tanpa langkah nyata, kenaikan PPN justru dapat menjadi beban baru yang memperburuk kondisi ekonomi rakyat.
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah ujian besar bagi pemerintah untuk membuktikan komitmennya dalam memperbaiki ekonomi negara tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat. Apakah kebijakan ini akan menjadi solusi jangka panjang yang efektif, atau justru memperdalam luka ekonomi masyarakat? Jawabannya bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola kebijakan ini dalam beberapa bulan ke depan.