December 8, 2025

KETIKA SEKOLAH JADI “SILENT MODE”: GADGET MENGALAHKAN KURIKULUM

0
WhatsApp Image 2025-04-22 at 13.53.58

Oleh Febrianto Hakeu, S.Pd.,M.Pd
Dosen PGSD Universitas Ichsan Gorontalo Utara


Pendidikan di era digital dihadapkan pada paradoks memilukan: di saat teknologi seharusnya menjadi alat pemerdekaan belajar, justru menjadi belenggu yang membungkam ruang kelas. Fenomena “Sekolah silent mode” menggambarkan betapa gadget telah menggeser kurikulum sebagai pusat perhatian para siswa guru menjelaskan materi dengan susah payah, sementara pikiran siswa tersandera oleh deru notifikasi media sosial. Survei KPAI pada tahun 2023 membuktikan bahwa, ada 67% siswa mengakses platform digital selama jam pelajaran, dan yang lebih mengkhawatirkan, riset Universitas Indonesia mengungkapkan daya konsentrasi mereka merosot hingga separuh karena ketergantungan pada layar. Ini bukan sekadar masalah disiplin, melainkan krisis pembelajaran yang mengubur interaksi manusiawi di balik kesenyapan kelas yang terdistraksi.

Guru sedang menjelaskan materi pelajaran dengan semangat, tapi yang ia lihat hanyalah deretan kepala tertunduk dan jemari yang asyik menari di atas layar ponsel. Suara penjelasan guru seolah tenggelam dalam kesenyapan kelas yang lebih memilih dunia digital. Inilah realitas baru di banyak sekolah Indonesia: ruang kelas yang secara fisik ramai, tapi secara intelektual “bisu”.

ilustrasi

Fenomena ini bukan sekadar keluhan guru-guru yang gagap teknologi. Akan tetapi kenyataan pahit yang harus ditelan oleh guru yang katanya sebagai agen pembaharu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang nyatanya, harus menelan pil pahit karena pendidikan kita terdistraksi oleh adanya ruang Gadgetyang mampu mengalahkan kurikulum. Di satu sisi, guru berusaha menjelaskan tentang persamaan kuadrat atau sejarah kemerdekaan. Di sisi lain, algoritma media sosial dengan cerdik menawarkan konten-konten pendek yang lebih warna-warni dan menghibur. Hasilnya bisa ditebak: materi pelajaran kalah bersaing dengan video TikTok yang sedang viral. Dampaknya tidak main-main. Seorang guru di Jakarta bercerita, “Siswa sekarang lebih cepat hafal lirik lagu TikTok daripada rumus matematika dasar.” Penelitian dari Universitas Indonesia juga menunjukkan bahwa ketergantungan pada gadget membuat daya konsentrasi siswa menurun drastis, dari rata-rata 40 menit menjadi hanya 15-20 menit per sesi belajar.

Fenomena inilah yang kemudian menjadi tak terhindarkan bagi kita di dunia pendidikan kita harini. Lalu siapa yang harus disalahkan?. Mudah memang menyalahkan siswa yang dianggap tidak disiplin, akan tetapi masalah ini lebih kompleks dari itu. Orang tua sering memberikan gadget sebagai “penenang” sejak anak masih kecil. Sekolah kadang hanya melarang penggunaan gadget tanpa memberikan alternatif yang menarik. Sementara pemerintah terus mendorong digitalisasi pendidikan tanpa menyiapkan strategi menghadapi efek sampingnya. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan kita, pernah berkata bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia. Tapi bagaimana mungkin merdeka jika pikiran generasi muda kita dijajah oleh notifikasi dan algoritme media sosial?

Dalam rangka menyongsong Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) tahun 2025 kita perlu melakukan tindakan nyata dalam rangka keluar dari Silent Mode ke Active Learning. Hal ini perlu dilakukan agar pendidikan kita bisa bertransformasi ke arah kemerdekaan manusia dalam proses pembelajaran. Yang bisa ditawarkan dalam hal ini yakni dengan membuat “zona bebas gadget” dengan aktivitas menarik seperti diskusi kelompok atau eksperimen langsung di sekolah. Melatih guru untuk membuat pembelajaran interaktif tanpa tergantung pada gadget. Mengharuskan dan menawarkan aturan sekolah kepada orang tua agar lebih ketat mengatur screen time dan memberikan contoh penggunaan gadget yang sehat. Dan menyarankan kepada pihak pemangku kebijakan di negeri ini agar perlu menyusun panduan literasi digital yang komprehensif untuk sekolah. Pendidikan sejati bukan tentang diam dan patuh, tapi tentang dialog dan keingintahuan. Gadget seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti proses belajar. Di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita kembalikan “suara” ke dalam kelas – suara diskusi, debat sehat, dan tawa belajar yang tulus. Kita tidak anti-teknologi, tapi kita ingin teknologi digunakan dengan bijak. Seperti kata Neil Postman, pakar media, “Anak-anak perlu belajar bukan hanya bagaimana menggunakan teknologi, tapi lebih penting lagi: kapan harus meletakkannya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *