Cita-Cita Menjadi Tuhan, Pendidikan yang Melampaui Posmodernisme, Tapi Kehilangan Tauhid
Hari Pendidikan Nasional kini kembali di peringati. Di banyak tempat, pidato dibacakan, baliho dibentangkan, dan jargon perubahan didengungkan. Tapi izinkan saya melangkah ke ruang sunyi, menjauh dari keramaian seremoni, untuk bertanya dengan suara yang lebih jujur, ke mana arah pendidikan kita kini bergerak?
Di tengah euforia teknologi, kecerdasan buatan, dan kurikulum digital, kita mungkin tidak sadar sedang menjalankan sebuah proyek besar yang tak kasat mata proyek membangun manusia Tuhan. Proyek ini bukan sekadar kemajuan sains, tetapi sebuah lompatan ideologis yang perlahan menjauhkan manusia dari kesadaran akan Tuhannya. Ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk menggeser posisi Sang Pencipta, digantikan oleh supremasi data, algoritma, dan kecanggihan akal manusia.
Dalam buku Homo Deus, Karya Yuval Noah Harari meramalkan masa depan di mana manusia tidak lagi tunduk pada Tuhan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pusat segala hal. Tuhan tidak dibantah secara frontal, tetapi digeser secara halus dengan narasi tentang kontrol total melalui big data, dengan keyakinan bahwa manusia bisa menaklukkan maut, mencipta kehidupan, dan memprediksi segalanya. Inilah bentuk pengingkaran paling halus, namun paling dalam terhadap nilai-nilai tauhid.
Kini, dunia pendidikan Indonesia tampaknya sedang digiring ke arah itu.
Melalui kebijakan yang mengagungkan kebebasan absolut, teknologi, dan efisiensi, kita justru menanggalkan aspek ruhaniah dari pendidikan. Di kampus dan sekolah, nilai-nilai keimanan mulai terpinggirkan. Kurikulum tak lagi menyebut kata takwa, tetapi lebih senang menyusun indikator kompetensi digital. Guru dan dosen tak lagi diteladani karena akhlaknya, tapi dihargai karena sertifikasi dan publikasi. Kita bangga mencetak “talenta masa depan”, tapi enggan memastikan apakah mereka masih mengenal Tuhan.
Padahal, dalam pandangan Islam, ilmu adalah cahaya dan cahaya sejati datang dari Allah, bukan dari algoritma. Pendidikan seharusnya menumbuhkan rasa syukur, kehambaan, dan kesadaran akan keterbatasan manusia. Tapi kini, pendidikan justru mengarahkan manusia untuk percaya bahwa ia bisa menjadi apa saja, bahkan secara ideologis menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri.
Kini kita menyaksikan pergeseran diam-diam namun masif, dosen bukan lagi guru kehidupan, tetapi dinilai seperti mesin produksi akademik. Ukuran kehebatan seorang dosen tak lagi ditimbang dari keikhlasannya dalam membimbing mahasiswa, dari keteladanannya dalam hidup sederhana namun bermakna, melainkan dari berapa banyak jurnal Scopus yang berhasil ia terbitkan, dan berapa lembar sertifikasi kompetensi yang mampu ia koleksi.
Begitulah logika pendidikan hari ini penuh indikator, rubrikasi, dan angka. Semuanya bisa dihitung, kecuali keikhlasan. Semuanya bisa diukur, kecuali nilai-nilai spiritual yang justru menjadi inti dari pendidikan itu sendiri.
Jika seorang ulama dahulu dihormati karena ilmunya yang membumi dan akhlaknya yang tinggi, kini dosen dihargai karena H-index-nya. Kita menuhankan publikasi, namun lupa bahwa ilmu tanpa tauhid hanya akan melahirkan kesombongan intelektual. Lalu lahirlah generasi yang cerdas tapi kehilangan arah, pintar tapi tak tahu malu, hebat di atas kertas tapi rapuh di lapangan kehidupan. Mereka bukan dibimbing untuk menjadi hamba yang bertakwa, tetapi dilatih menjadi manusia yang merasa paling tahu.
Kita sedang melupakan tauhid dalam sistem yang katanya mencerdaskan. Kita merayakan kecerdasan, tapi kehilangan kebijaksanaan. Kita mengejar gelar, tapi lupa pada gelar tertinggi, hamba Allah.
Maka di Hari Pendidikan Nasional ini, marilah kita renungkan: apakah pendidikan kita masih mengingatkan manusia untuk tunduk, atau justru sedang mengajarkan cara untuk menolak tunduk?
Jika kita tidak berhenti sejenak dan kembali menata arah, bisa jadi pendidikan kita akan menjadi tangga yang indah tapi menuju ke jurang yang dalam. Karena sesungguhnya, pendidikan bukan untuk menjadikan manusia merasa mahakuasa, tetapi untuk menyadarkannya bahwa hanya Allah-lah Yang Maha Segalanya.